Air Mata Seorang Ibu


Suatu hari, saya pergi ke sebuah panti jompo atas permintaan seorang sahabat yang meminta bantuan untuk menyalurkan sedekah kepada kaum miskin. Saya membeli kain sarung, roti, dan beberapa barang lainnya sebelum menuju ke panti jompo yang sudah saya kenal.

Saat kendaraan saya tiba di pelataran panti, tiba-tiba seorang ibu tua berlari dari asrama, mendekati saya sambil menangis haru.

"Ye... Ye... Anak aku datang, anak aku datang! Senangnya anak aku datang..."

Saya terkejut. Saya tidak mengenal beliau, tetapi beliau langsung memeluk dan mencium saya dengan penuh kasih. Dengan suara bergetar, beliau berkata,

"Nak... Kenapa tinggalkan ibu di sini? Ibu mau pulang... Ibu rindu rumah kita..."

Saya hampir tak bisa berkata-kata. Ya Allah... Saya hanya bisa memandangnya dan menggenggam tangannya.

"Bu..." hanya itu kata yang mampu keluar dari mulut saya.

Beliau menatap saya dengan mata yang penuh harapan. "Sampai hati nak, kau tak mengaku aku ini ibu kau..."

Saya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan beliau. Akhirnya, saya pura-pura menjadi anaknya agar bisa menenangkan hatinya.

"Bu... Maafkan saya ya..." ucap saya lirih.

Saya menggandeng beliau duduk di kursi, lalu menyuapkan roti ke mulutnya. Air mata saya menetes tanpa sadar. Membayangkan betapa dalamnya kerinduan seorang ibu kepada anaknya.

Ketika saya hendak pulang, beliau memegang kaki saya erat. "Nak... Jangan tinggalkan ibu... Ibu mau pulang..."

Saya pun meminta izin kepada pengelola panti untuk membawa ibu ini selama lima hari. Dari data panti, saya tahu beliau memiliki lima anak. Anak sulungnya bergelar Tan Sri, seorang yang kaya dan terpandang. Namun, sudah tiga tahun beliau ditinggalkan di panti tanpa pernah dijenguk.

Di rumah saya, setiap waktu sholat, beliau selalu menjadi makmum di belakang saya. Selesai doa, beliau menangis. Saya memegang tangannya, mencium tangannya, dan berkata, "Bu... Maafkan saya ya..."

Di hari ketiga, setelah sholat Isya', beliau tiba-tiba melapisi tangannya dengan mukena saat bersalaman dengan saya. Saya bertanya, "Bu, kenapa ibu lapisi tangan ibu? Dua hari lalu ibu tidak seperti ini."

Beliau menatap saya dan berkata, "Ustaz... Kau bukan anak saya kan?"

Subhanallah... Hati saya hancur. Saya memeluk beliau dan menangis.

"Bu, walaupun saya bukan anak ibu, saya sayang ibu seperti ibu saya sendiri..."

Malam itu, beliau tiba-tiba jatuh sakit. Saya segera membawanya ke rumah sakit. Dalam pelukan saya, beliau berkata, "Ustaz... Kalau saya mati, jangan beritahu anak-anak saya. Jangan izinkan mereka menyentuh batu nisan saya..."

Saya menangis, istri dan anak saya menangis. Kami semua menangis.

Tak lama kemudian, dalam pelukan saya, ibu ini menghembuskan napas terakhirnya. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un...

Beberapa waktu kemudian, berita kematiannya sampai ke telinga anak sulungnya. Ia menelepon saya dengan marah.

"Saya akan bawa anda ke pengadilan! Anda telah membawa ibu saya keluar dari panti tanpa izin!"

Namun, setelah itu, tak ada kabar lagi. Setahun lebih berlalu, hingga suatu hari, setelah saya selesai berceramah di sebuah masjid, seorang lelaki datang memeluk saya erat dan menangis tersedu-sedu.

"Ustaz... Tolong kasih tahu di mana makam ibu saya... Tolong...!"

Saya terkejut. Dialah anak sulung ibu tersebut, yang dulu mengancam saya. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Saya kini telah jatuh miskin, istri saya meninggal dalam kecelakaan, rumah saya disita bank... Tolong, ustaz, saya mau bertemu ibu saya..."

Saya akhirnya membawa dia ke makam ibunya. Namun sebelum ia sampai ke pusara, tubuhnya tiba-tiba jatuh tersungkur, tangannya menghitam, mulutnya tertarik sebelah. Dalam keadaan seperti itu, ia memanggil, "Ibu... Ibu... Ibuuu..."

Tak lama kemudian, ia menghembuskan napas terakhir di dekat makam ibunya. Allahu Akbar...

Allah SWT menunjukkan kepada saya balasan bagi anak yang durhaka kepada ibunya.

Sahabat sekalian, jika ibu kita masih hidup, sayangi dan taatilah beliau. Jangan pernah membiarkan ibu kita sendiri, apalagi menelantarkan beliau di panti jompo. Karena ridha Allah terletak pada ridha seorang ibu.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama