Hari Pendidikan Diperingati Setiap 2 Mei?


Setiap tanggal 2 Mei, Indonesia kembali memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tanggal ini diambil dari hari lahir Ki Hajar Dewantara, tokoh yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Namun, di balik penetapan tanggal ini, terdapat pertanyaan menarik: mengapa bukan tanggal 1 Agustus yang dipilih, yaitu hari lahir Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang juga memiliki kontribusi besar dalam sejarah pendidikan di Indonesia?

Kiprah Awal Muhammadiyah dalam Dunia Pendidikan

Jika menelusuri jejak sejarah, Muhammadiyah telah mendirikan lembaga pendidikan lebih dahulu dibanding Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara pada tahun 1922. Sejak tahun 1911, Kiai Ahmad Dahlan telah mendirikan Madrasah Ibtidaiyah di Yogyakarta, diikuti dengan berbagai sekolah agama seperti Mu’allimin, Mu’allimat, Diniyah Ibtidaiyah, Diniyah Wustho, serta sekolah umum seperti Volkschool, Vervolg School, HIS, MULO, dan AMS.

Pada masa itu, pendidikan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam modernis yang bertujuan mencerdaskan masyarakat melalui jalur pendidikan dan dakwah. Gerakan ini lahir dari kalangan elit Kesultanan Ngayogyakarta, yang menjadikan pendidikan Muhammadiyah awalnya kurang menjangkau masyarakat akar rumput.

Tantangan Politik dan Ideologi

Seiring berkembangnya waktu, Muhammadiyah membentuk struktur organisasi yang mendukung berbagai aspek pendidikan dan sosial, seperti Hoofdbestuur Bahagian Sekolah, Tabligh, Penolong Kesengsaraan Oemat, dan Pustaka. Namun, perkembangan pendidikan Muhammadiyah tidaklah mudah. Mereka menghadapi tantangan dari pemerintahan kolonial Belanda yang curiga terhadap gerakan Islam, dan juga dari sesama kelompok dalam Islam yang tidak sejalan dengan ide modernis.

Belanda lebih memilih sistem pendidikan yang sesuai dengan kepentingan mereka. Pendidikan bagi kaum pribumi dibatasi, dan model pendidikan seperti yang dibawa Muhammadiyah dianggap terlalu fokus pada dakwah Islam dan dapat membangkitkan kesadaran kritis. Akibatnya, pendidikan ala Muhammadiyah berkembang dalam keterbatasan.

Lahirnya Taman Siswa dan Pendidikan Nasionalis Jawa

Pada tahun 1922, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mendirikan Taman Siswa, yang menjadi bentuk penolakan terhadap sistem pendidikan kolonial sekaligus alternatif terhadap gerakan Islam modernis. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, pendidikan Taman Siswa lahir dari semangat nasionalisme Jawa yang ingin membentuk pendidikan khas Indonesia yang bersifat non-pemerintah, non-Islam modernis, dan lebih dekat dengan budaya lokal.

Taman Siswa menekankan nilai-nilai kebangsaan, kemandirian, dan keragaman. Konsep ini kemudian dianggap lebih “netral” dan sesuai dengan semangat kebangsaan Indonesia yang sedang tumbuh. Karena pendekatannya dianggap lebih inklusif dan merangkul semua golongan, maka tanggal lahir Ki Hajar Dewantara yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional, bukan tanggal lahir Kiai Ahmad Dahlan.

Penutup

Penetapan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei tidak lepas dari dinamika sejarah, politik, dan ideologi. Meskipun Muhammadiyah memiliki kontribusi besar dalam bidang pendidikan sejak awal abad ke-20, nilai-nilai pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara dinilai lebih merepresentasikan semangat persatuan dan kebhinekaan Indonesia.

Namun, bukan berarti peran Kiai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah terpinggirkan. Sejarah mencatat bahwa Muhammadiyah adalah pionir dalam meletakkan dasar pendidikan modern di Indonesia, dan hingga kini tetap menjadi salah satu organisasi pendidikan terbesar dan paling berpengaruh di tanah air.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama